Dec 30, 2011

Living a Life

Halo.

I finally back, huh?! Yep. Just think that I need to write something to make me feel better these days. Coz I realized that my life, esp my heart, is full with hate, trash and I need to spill it out and throw it all away so I can breathe easy.

Well, I'm gonna start. But, I won't use english now. I'll tell with Indonesian. So sorry but I hope, everyone can understand what I'm shared about. lol

Gue tau. Hidup ga pernah mudah. Kalau mudah, percuma Tuhan selalu kasih kita 2 pilihan atau lebih. Ga mungkin ada baik-buruk, susah-senang, kaya-miskin, dan sebagainya itu. Tuhan bakalan kasih kita jalan satu aja kalau memang hidup itu mudah. But as I said before, hidup itu ga mudah. Butuh perjuangan. Perjuangan untuk mendapat yang terbaik, menjadi yang terbaik, memiliki yang terbaik, semua yang terbaik. Siapa sih yang nggak mau itu semua? Gue yakin sih semua pasti mau. Gue juga mau.

Tapi, ini dia masalahnya. Ga selamanya yang lo mau lo bisa dapet. Ga selamanya yang lo ga suka bisa lo hindarin. Ga selamanya lo bisa berbuat apa yang lo mau. Ga selamanya orang-orang berada di tempat yang sama. Pernah denger kalimat "Roda pasti berputar, ada kalanya yang di atas ke bawah dan sebaliknya"? Gue yakin lah kalian udah sering denger perumpamaan ini. Dan ya, itulah hidup. Terus berputar. Kita ga akan tau, kapan kita di atas, kapan kita di bawah.

Nah, sebenernya gue ga mau ngomongin tentang roda itu. Gue mau ngomongin tentang gue. Gue berusaha menjalani hidup. Menjalani apa yang dinamakan hidup. Kehidupan. Life. I'm trying to living a life here. Bukannya sok filosofis atau puitis atau apalah. Tapi, gue cuma baru menyadari, betapa gue selalu dibayangi masa lalu. Yep. Masa lalu. Kebetulan banget emang, masa lalu gue.. ga bisa dibilang selalu senang. Siapa yang punya hidup terus senaaaang sepanjang masa sampai sekarang? Ada? Kalau ada, gue mau tukeran tempat.

Gue ga mau ngomongin masalah keluarga. Ya, masalah itu, biar jadi masalah gue sama keluarga gue aja. Udah cukup untuk jadi pengganjal pintu atau bahkan bisa buat gebuk maling kalo dibukuin. Gue, mau ngomongin yang lain selain keluarga. Yang tak lain dan tak bukan adalah tentang teman-teman gue. Friendship gue. Inilah, masa lalu yang selalu membayangi gue.

Gue pernah dites kepribadian dan hasilnya, gue adalah Introvert sempurna. Ya, gue totally seorang introvert. Introvert ga tau? Coba cari di kamus deh lengkapnya, tapi intinya, seorang introvert itu, ga pernah membuka diri pada orang lain. Maksudnya tertutup. Berkebalikan dengan adik gue yang Ekstrovert. Sebenernya kayaknya di keluarga gue, cuma gue yang introvert. Oke, jadi, sebagai seorang introvert, gue intinya sulit membuka diri. Bahkan sama lingkungan sekeliling gue, misal keluarga.

Gue mendapati ini nyata, ketika gue sekolah SD. Kenapa? Ketika TK, lo akan dengan sendirinya membaur. Karena sadar atau ga sadar, rata-rata temen TK itu ya temen sepermainan lo aja. Kecuali yang pindahan. Itu sih lain soal. Dan ini diperparah dengan status gue sebagai anak pindahan dan totally stranger, outsider, alien. Rata-rata temen gue saat itu, udah temenan dari TK. Dan mereka tentunya amat sangat mengenal isi perut masing-masing. Sementara gue? Dulu gue aja masih harus ditungguin di sekolah sama Mbak gue. Di sini gue sadar (sebenernya gue baru mengkaji ini belum lama. jadi dulu sih ya gue ga sadar juga), kalau ternyata, gue sulit berteman. Gue selama sebulan atau lebih, cuma berteman dengan teman sebangku gue. Gue ga aktif. Gue dikenal sama guru ya karena gue anak baru. Dan progress pertemanan gue itu lambat banget. Hal ini baru berubah ketika gue ikut jemputan.

Gue kemudian kenal sama beberapa teman. Yang sebenarnya sih, selalu gue anggap sahabat gue. Dulu, saat kita masih lugu, justru adalah saat dimana kita bisa menilai, siapa teman siapa yang bukan. Di saat ini, gue pun begitu. Tapi, gue terlalu cepat nyaman. Gue terlalu cepat menilai. Gue terlalu sulit untuk melepas diri. Jadi, gue tergantung sama dia. Dan hal ini, sifat ini terbawa sampai SMP dan kemudian SMA.

Gue cepat sekali nyaman dengan seseorang. Ketika gue merasa nyaman, gue akan menjadi dependen. Sifat yang buruk, tapi justru melekat. Dan jujur, gue hidup dalam prinsip di mana pertemanan itu adalah kuncinya. Yeah, I adore friendship. But looks like they who I pick as friend didn't feel the same way.

Gue beberapa kali dikhianatin. Not once. And you know what, that's suck. SMA gue kebetulan ketemu dengan seeseorang yang gue anggap sahabat gue. We're not really have anything in common but sometimes the difference makes us bond. Itu anggapan gue dulu. We're depend on each other. Sampai ketika gue sadar, dia adalah "angin". Dia selalu berhembus, mengikuti kata hatinya, memuaskan semua orang di sekitarnya. Dia, tak terjangkau. Dan gue, adalah seorang yang agak "invisible" sehingga gue selalu khawatir kalau gue ada di bayang-bayangnya.

Gue punya obsesi, walau ga banyak. Walau ga tinggi. Ga setinggi dia. Dia selalu punya obsesi yang besar. Dia bisa mempengaruhi orang. Bisa dibilang dia itu karismatik. Trendsetter, not follower. Dan di sanalah gue mulai khawatir. Sebetulnya siapa gue? Apakah gue menjalani hidup gue atau ga? Dan ketika gue bilang ke dia, satu obsesi gue itu, "Gue pengen jadi ketua padus. Tapi, kayaknya lo deh yang dipilih". Dia dengan enteng bilang, "Ga bakal. Gue ga mau. Kalaupun mereka milih gue jadi kandidat, gue ga bakal maju. Gue punya obsesi lebih dari itu. Dan gue bakal dukung lo, kalo perlu gue yang nyalonin lo buat jadi ketua."

Ya, segampang itu dia balas ucapan khawatir gue. Betapa mudah dan lancarnya. Sementara kalau keadaannya dibalik, mungkin gue ga bisa setenang itu. She has what I want. Dan kemudian emang bener, gue jadi ketua padus, but wibawanya, ga di gue.

Ketika inilah, gue merasa, perbedaan antara gue dan dia itu ga mungkin jadi satu. Sejak awal, gue ama dia punya retakan dan semakin lama retakan itu semakin membesar. Tinggak tunggu waktu aja untuk membelah dan kemudian terpisah. Dan sejujurnya itu bahkan ga butuh waktu lama. Ga lama setelah gue kepilih, we're making our distance. Dan hal ini membuat gue sadar, sebenernya gue gatau apa-apa tentang dia. Gue ga deket dengan keluarganya, bahkan sama sodara2nya aja gue awkward. Sedangkan dia deket sama nyokap gue, bokap gue. Entah di mana yang salah.

Dan kemudian, kami menjauh. Dia dengan teman-temannya, dan gue dengan diri gue yang meskipun tetap ada teman, selamanya merasa jadi bayang-bayang dia. Everywhere I go, gue selalu memastikan dia di mana, seperti apa hidupnya. Dan toh ketika gue udah tau, it's not make me easy. Malah semakin bikin gue bertanya-tanya. Kalo gue masih jadi "inner circle" nya mungkinkah....

Pathetic...

Dan sekarang gue paham. Hidup dalam bayang-bayang seseorang yang besar, itu berat. Tapi, itu sebenernya ya cuma ada di pikiran lo doang. Lo mikir kalo lo ada di balik bayang-bayang dia. But to be honest, lo ga di situ lagi. Dipikir aja, temen-temen lo sekarang beda, temen lo yang sekarang ga mungkin tau siapa dia. You will always share the past, memories with her, but, it's just memories.

Mungkin ini yang bikin gue sadar bahwa selama ini I'm not living my life. I'm living my memories. Gue ga pernah berjalan maju karena gue selalu menatap ke belakang. Mengira-ngira, menerka, membayangkan. Dan asal lo tau, ini nggak bakalan selesai. Jadi, gue bertekad untuk kali ini, I'm gonna living my life. Peduli amat dengan siapapun dia di masa lalu gue, mau apa dia dengan masa lalu gue, gimana gue di masa lalu gue, I am what I am. Dan, mungkin dulu, gue introvert sempurna, tapi gue merasa, I'm not like that anymore.

So, just leave what the past in the back. It will haunt you if you still think about it but it will become just a sweet or even sad memories. It will hurt you if you really live in it but it will be your friend when you just make it as your teacher.

Living a life is hard. But its harder for not living in it. right?


-nph