Setelah sekian lama nggak post apa-apa (terakhir emang sekedar curahan hati kangen sama Eyang dan Umi) akhirnya gue akan post sesuatu lagi.
Jadi kali ini, gue dan teman-teman dari OWOP II kembali mengadakan proyek SBT Challenge ini. Sebelumnya sih udah pernah beberapa kali diadain. Dan gue beberapa kali juga ikut. Nah makanya sekarang, pas diadain lagi, gue ikutan. Kali ini gue kebagian giliran pertama.
SBT Challenge kali ini genre ceritanya adalah Romance-Angst (hasil voting seisi grup ya ini, bukan cuma mau gue). So, here is the first chapter of the story. Enjoy.
~.~
Chapter 1 - Luka Elisa
Elisa menatap cermin di hadapannya dengan tatapan kosong. Di
luar kamarnya, terdengar suara bantingan piring dan gelas atau entah apa saja
yang dilempar oleh orangtuanya. Sekeras apapun ia berusaha untuk meredam
suara-suara itu, tetap saja terdengar. Ingin rasanya ia pergi, kabur dari rumah
dan menginap di tempat lain. Tapi di mana?
Bayangannya dari balik cermin membalas tatapannya. Benci, ia
benci tatapan kosong itu. Lalu dengan sekuat tenaga ia memukul cermin kamar
mandinya hingga pecah berkeping. Ia tak sadar bahwa ia punya kekuatan sebesar
itu. Tapi ia tidak khawatir orangtuanya akan mendengar. Suara di luar jauh
lebih bising daripada suara cermin pecah di dalam kamar mandi en suite di
kamarnya.
Tanpa ia sadar, tangannya meraih salah satu pecahan dan ibu
jarinya menyentuh ujungnya yang tajam. Pecahan itu pun menggores ibu jarinya
hingga darah perlahan keluar. Ia hanya menatap darah yang mengalir tanpa
ekspresi, seakan ia sudah terbiasa melihatnya. Perlahan, ia membawa pecahan
kaca itu ke pergelangan tangan kirinya. Dengan pelan ia menggores dan menekan
pecahan kaca itu. Goresan itu cukup dalam, tapi masih dirasa aman olehnya.
Tidak. Elisa tidak pernah berniat untuk bunuh diri. Ia hanya
ingin memindahkan rasa sakit hatinya ke dalam bentuk sakit yang lebih nyata. Hal
ini bukan baru sekali ia lakukan. Di beberapa bagian pergelangan tangan dan
lengan dalam tangannya, terdapat bekas-bekas sayatan yang sudah memudar,
meninggalkan jejak putih panjang. Ia sengaja menyimpan sebuah silet di bagian
terdalam lemari kabinet di kamar mandinya. Menggunakan pecahan kaca ini, adalah
pertama kali. Sebenarnya, Elisa sudah pernah berjanji, pada dirinya sendiri,
bahwa ia takkan pernah melakukannya lagi. Tapi sepertinya, setan di kepalanya
tidak bisa diam dan membiarkannya menepati janjinya.
Baru saja ia akan kembali menyayat dan menggoreskan luka
ke-6, deringan ponselnya membuat ia terlonjak dan menjatuhkan pecahan kaca di
tangannya. Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas tempat tidurnya dan
mengangkatnya setelah melihat Caller ID
penelpon.
“Tezar,” ucapnya lirih.
“El, lo.., lo kenapa?” tanya Tezar. Suaranya yang tadinya
ceria berubah menjadi siaga dalam hitungan detik.
Mendengar pertanyaan Tezar, Elisa jatuh terduduk di samping
tempat tidurnya dan menangis. Seakan ia baru saja sadar apa yang sudah ia
lakukan. Bahwa ia baru saja melanggar janjinya untuk entah ke berapa kalinya.
“El,” panggil Tezar dari seberang sana. “Gue ke sana
sekarang.”
“Jangan!” cegah Elisa. “Papa-Mama lagi perang.”
“Justru karena itu, gue ke sana sekarang El. Buka jendela. Tunggu
gue. Jangan... melakukan hal bodoh!”
Sambungan telepon pun terputus.
*
“Guys, gue balik
duluan ya.”
Tezar bangkit dari kursinya dan mengenakan parka marunnya,
mengantongi ponsel dan mengambil kunci motornya.
“Lah, kenapa Zar? Ada masalah? Ada apaan? Tiba-tiba banget.”
Gio, yang duduk di sebelahnya bingung. “Tadi bukannya lo mau ngajak Elisa?”
“Nah, justru itu. Gue harus ke sana nih,” jawabnya ringkas. “Dia...
butuh gue sekarang.”
Sontak kalimat terakhirnya membuat teman-temannya ribut
menyoraki dan bersorak. Pasalnya, semua sahabatnya sudah sejak lama curiga pada
hubungannya dan Elisa. Namun, ia selalu menjawab bahwa mereka berdua hanya
sahabat.
“Gaya lo, Zar. Gue pikir ada apaan,” seru Kemal. “Gih sana
deh lo samperin cewek lo. Makanya, go
public aja, go public. Kayak artis
aja lo berdua sok sembunyi-sembunyi!”
Tezar hanya tersenyum simpul dan pergi dengan bergegas. Pikirannya
kembali kepada suara Elisa tadi. Tangis itu tidak biasa. Mama-papanya
bertengkar lagi, berarti....
Semoga ia tidak apa-apa, batin Tezar. Semoga Elisa tidak
melakukan hal itu lagi.
Tezar mengenal Elisa sejak SMP. Mereka dulu dipasangkan
untuk duduk sebangku karena nama mereka berurutan di absen. Iya, Tezar adalah
nama tengahnya. Nama depannya adalah Elgan. Sejak saat itu, mereka seperti
perangko dan amplop. Pribadi Tezar yang menyenangkan terlihat kontras dengan
pribadi Elisa yang tertutup. Hanya Tezar yang nampaknya bisa mendobrak
pertahanan diri Elisa. Banyak temannya yang bilang bahwa Elisa terlalu
bergantung padanya, ia jadi tidak punya celah untuk bisa bebas. Tapi bagi Tezar
itu bukanlah masalah. Ia senang Elisa bisa membuka diri padanya.
Tapi, menjadi bagian hidup Elisa, berarti juga menyingkap
lukanya. Elisa memiliki pribadi yang tertutup bukan karena ia memilihnya. Keluarganya
tidak harmonis. Sejak dulu. Dan Elisa adalah anak tunggal, sehingga semua beban
ia tanggung sendiri. Tapi kehadiran Tezar, membuatnya bisa berbagi. Dan Tezar
bersyukur, ia bisa menjadi seseorang yang berarti di hidup Elisa.
Tezar menatap jam tangannya dengan gelisah. Jalanan macet
bukanlah hal yang aneh di Jakarta, tapi kali ini ia benar-benar kesal.
“Ah! Lampu merahnya lama banget sih!” gerutunya.
Ketika lampu lalu lintas berubah hijau, ia segera memacu
motornya kencang. Perjalanannya dari tempat nongkrongnya tadi menuju rumah Elisa
terasa lebih jauh dari biasanya. Ia hanya berharap bisa segera sampai dan semua
baik-baik saja. Elisa, please stay safe.
~.~
Cerita selanjutnya nanti akan diteruskan oleh kak Asti: Chapter 2 - Self Harm
Bagi yang ada saran boleh lho komen.
Terima kasih :)
-N
2 comments:
Sebenernya gue sebel banget sama tokoh utama yang 'negatif' gini. Tapi untunglah ada Tezar yang masih bisa diutak-atik untuk menyadarkan Elisa xD
Anyway, nice start!
Iya, gue setuju banget sama komen Nana di atas.
Tema psikologi kaya gini sebenernya gue cukup suka buat baca, tapi gue belom pernah berani bikin. Semoga nggak mengacaukan ya xDD
Post a Comment