Oct 9, 2015

Surat Pendekat Jarak

Nifa POV

 

“Nguap tuh ditutup. Nanti, orang bisa kesedot kalo lo nguapnya lebar begitu."

 

Aku menoleh ke asal suara. Ternyata Nana. Ganggu kekhusyukan orang lagi nguap aja sih anak ini. Dengan cengiran khasnya yang seperti kucing, Nana berjalan menjajariku. Aku menatapnya bingung. Nana memang suka cengengesan, tapi biasanya sih nggak pernah pagi-pagi.

 

"Na, lo kenapa deh? Tumben banget pagi-pagi udah ceria begini.Kesambet di mana?"

 

"Sialan. Emangnya gue nggak boleh ya ceria kalo pagi, Nif?"Wajahnya tetap ceria meski ia tadi sempat mengumpat. Creepy.

 

"Mungkin buat orang lain sih, nggak apa-apa, Na. Tapi buat lo, ceria berlebihan gini aneh. Apalagi masih pagi gini. Kan lo bukan makhluk pagi... Eh maksudnya, lo kan biasanya pagi-pagi itu ngeluh ngantuk lah, laper lah, bukannya cengengesan bahagia begini," ujarku panjang lebar. Sempat meralat juga karena Nana menatapku galak saat kubilang dia bukan makhluk pagi. Padahal kan, itu kenyataan.

 

"Hmmm, gitu ya?" gumamnya pelan. "Biarin aja deh. Yang penting gue happy. Dan nggak ada yang bisa mengubah itu.Daah."

 

Nana pun berjalan meninggalkanku menuju kelas. Caranya berjalan sambil melompat-lompat girang itu semakin membuatku curiga. Pasti ada sesuatu nih. Ada apa sih dengan Nana?

 

###

 

Dee POV

 

"Pssst! Ru... Ru..." bisik Nifa memanggil Ruru yang berada di bangku seberang.

 

Aku menoleh ke arah Nifa dan hanya menggelengkan kepala.Nifa si rusuh. Pasti lagi main surat-suratan. Kebiasaan Nifa kalau lagi penasaran itu begitu. Mencari info bak wartawan infotainment. Walaupun ini masih di tengah jam pelajaran. 

Tiba-tiba aku merasakan kepalaku terkena sesuatu. Aku menengok dan melihat Nifa mengisyaratkan aku untuk melihat ke bawah. Ah, bola kertasnya Nifa. Perlahan, karena tidak ingin membuat Mr. Izzy tahu kami sedang surat-menyurat, aku membuka gumpalan kertas itu.

 

‘Dee, lo tau nggak si Nana kenapa bisa girang gitu pagi ini? Lo temen sebangkunya pasti tau. KASIH TAU GUE!’ tulisnya di sanaDasar Miss Kepo.

 

‘Karena cowok itu Nif’ tulisku dalam surat bola kertas itu dan melemparnya kembali.

 

Aku memperhatikan wajah Nifa ketika membacanya, kaget.Pasti kaget. Nana memang jarang jatuh cinta sama cowok. Entah kenapa, aku merasa, istirahat nanti aku akan diinterogasi sama Nifa. 

 

###

 

Nifa POV

 

"Jadi, sebenarnya cowok itu siapa, Dee? Kok, Nana nggak pernah cerita ya?"

 

Aku bertanya sambil menunggu bakso yang tadi kupesan. Ruru yang sedang konsentrasi makan gado-gado tampak tidak peduli dengan pertanyaanku. Biarin aja deh. Ruru memang tak pernah peduli dengan yang namanya gosip. Apalagi tentang Nana.Buatnya itu lebih nggak penting lagi.

 

"Baru-baru ini aja kok, Nif. Gue juga baru tahu kemarin kok. Itu juga nggak sengaja. Pas Nana nulis-nulis nama cowok itu," jawab Dee. Aku hanya mengangguk-angguk dan mengisyaratkan Dee untuk meneruskan ceritanya dengan tanganku.

 

"Namanya Imron. Setahu gue, dia anak kelas sebelah. Gue nggak tahu sih yang mana anaknya," jelas Dee.

 

Aku baru saja ingin bertanya namun bakso pesananku datang.Dan...

 

"Bang, kok ada bawang gorengnya? Kan tadi udah bilang nggak pake bawang goreng," protesku.

 

Bang Said, tukang bakso langganan mereka, menepuk jidat dan meminta maaf seraya bergerak ingin mengambil mangkuk baksonya lagi. "Duh, maap, Neng. Abang lupa. Diganti deh ya."

 

"Nggak usah deh, Bang. Laper. Nggak apa-apa deh. Tengkyu, Bang," kataku pelan. Kasihan juga kalau harus ganti lagi. Nanti, baksonya mubazir.

 

Ruru yang melihat kejadian itu hanya geleng-geleng. "Biasa banget, Nifa. Masalah bawang goreng aja kayak masalah paling penting, urgent dan luar biasa."

 

"Lho, emang! Bawang goreng itu..."

 

"Udahlah. Mau lanjut nggak nih, masalah Nana sama Imron?" Dee memotong pembicaraanku dan Ruru yang mulai nggak penting. Bawang goreng aja diributin.

 

"AH IYA! Jadi gimana, gimana?" tanyaku antusias.

 

"Ya, nggak gimana-gimana, Nif. Intinya Nana lagi naksir Imron.Tapi kayaknya, dia nggak ada niat buat pdkt."

 

"Hmm, gue punya ide." Aku menatap kedua temanku dengan tatapan yang sedikit mencurigakan.

 

Ruru langsung tahu ke mana arah ideku ini. Semuanya tampak dari ekspresi mukanya.

 

"Gimana kalo kita.... bantuin Nana. Nulis surat kek ke Imron atau nulis puisi cinta dan tempel di mading. Seru kan?!" 

 

Dee terlihat berpikir. Ruru diam tanpa ekspresi. Tak lama, Dee mengangguk-angguk setuju dan Ruru hanya mengangkat bahunya tanda ia menyerahkan semua kepadaku dan Dee.

 

Setelah secara tidak langsung mereka sepakat, Aku dan Dee segera melahap makanan yang kami pesan. Sementara Ruru yang sudah selesai makan, celingukan.

 

"Ngomong-ngomong, Nana ke mana ya?"

 

Mendengar pertanyaan Ruru, Aku dan Dee pun terdiam. Iya juga. Kok tumben Nana nggak makan siang bareng mereka ya?Nana ke mana?

 

###

 

Dee POV

 

"Bila ku jatuh cinta, aku mendengar nyanyian, seribu dewa dewi cinta menggema dunia..."

 

Sepulang sekolah Nifa langsung menghampiri Nana, menyanyikan lagunya Nidji sambil berputar-putar gemulai mengelilingi Nana yang sudah mulai risih. Aku dan Ruru mengikuti di belakangnya dan tertawa pelan melihat ulah Nifa yang nggak jelas.

 

"Apaan sih lo Nif! Norak!"

 

"Cieee... Nana, ngaku aja lo lagi jatuh cintrong kan sama cowok, eh yang mana sih orangnya Na, kasih tahu dong..."

 

"Fiuh... Jadi kalian udah tahu? Anak kelas akselerasi tuh. Si Imron."

 

"Hah?! Anak aksel? Gila! Di situ kan anak kutu buku semua Na, serius lo?" kali ini aku mulai angkat bicara.

 

"Serius lah, dia temen gue SD dulu, tapi kayaknya dia nggak inget deh sama gue. Bertepuk sebelah tangan nih kayaknya," jawab Nana lesu.

 

"Tenang, kita-kita bakalan bantuin lo Na," ujar Ruru yang mulai prihatin dengan kondisi Nana.

 

"Bantuin apa?"

 

"Dunia ini hampa tanpa tulisan Na," sahutku membuka pembicaraan.

 

"Dan tanpa tulisan kita berasa buta," sahut Ruru menyambung.

 

"Dan Imron itu bukan orang buta, dia kan orang pinter, pasti suka baca," sambung Nifa.

 

"Hah?! Orang pinterDukun? Maksud kalian apa sih. Nggak jelas banget, udah to the point aja deh,"

 

"Kita bakal bantuin lo buat menulis!" Ruru, aku dan Nifa menyahut bebarengan.

 

"Eh, gue ini ngomong cinta, bukannya soal tulis menulis!"

 

"Nulis surat cinta lah Nana sayang..." seru Nifa sambil mencubit kedua pipi Nana dengan gemas.

 

"Nggak mau ah. Kuno!"

 

"Harus mau! Hanya dengan tulisan kalian bisa saling bicara," sahut Ruru dengan bijak.

 

###

 

Nifa POV

 

Hari baru, awal baru, cinta baru. Aku bersemangat sekali ke sekolah hari ini. Demi mewujudkan kedekatan antara Nana dan Imron, aku siap membuat surat cinta terbaikku. Aku sekali lagi menatap pantulan diriku di cermin dan tersenyum puas.

 

“Nice, Nifa. Let’s get Imron for Nana,” seruku pada cermin di depanku. 

 

Sesampainya di sekolah, aku segera mencari Nana, Dee dan Ruru yang biasanya sudah datang. Dan ternyata benar. Mereka sudah duduk bergerombol di pojokan kelas. Setelah meletakkan tas, aku menghampiri mereka.

 

“Pagi, guys. Gimana, udah siap jadi kurir cintanya Nana?” sahutku sambil menaik-naikkan alis

 

“Ih, apaan sih lo? Norak banget ih,” balas Nana. Aku melihat Ruru hanya tersenyum geli dan Dee… kayaknya dia senyumnya kasihan gitu ya ke Nana.

 

“Nih, gue udah buatin surat buat Imron dari Nana. Sok dibaca,” seruku. Kuletakkan surat yang sudah kutulis semalaman itu di atas meja. 

 

Sontak ketiga temanku itu buru-buru membukanya. Setelah kuperingatkan agar tidak merobek, merusak, mengusutkan suratdan amplopnya, akhirnya mereka bisa membuka surat itu dengan lebih… lembut.

 

2 menit, 5 menit… kok nggak ada tanggapan gini sih?

 

“Hey, kok nggak ada tanggepan…nya?” Aku menghentikan pertanyaanku saat melihat muka jijik Nana, muka geli Ruru menahan ketawa dan muka prihatin Dee. “Ada yang salah ya?”

 

“Sumpah, Nif. Bukannya gue meragukan kemampuan nulis lo sih. Tapi ini suer norak banget. Lo belajar nulis surat cinta dari mana sih?” tanya Ruru. Aku mengernyit. Norak? Ah masa sih.

 

“Wahai Imron, pujaan hati. Sudah lama aku jatuh hati. Padamu pangeran dalam mimpi.” Dee membacakan satu bait yang tertulis di dalam surat itu. Ih itu kan bagus, berima pula. “Ini tuh, Nif, sorry ya, agak geli-geli gimana gitu.”

 

“Dengan kata lain, INI NORAK BANGET NIFA! Ih lo mah mau bikin gue malu ya? Udah gue duga deh kalo misi ini adalah misi yang aneh dan nggak mungkin berhasil. Udahlah nggak usah!” seru Nana kesal. Aku manyun. Usahaku semalaman suntuk untuk bisa membuat surat bagus begitu gagal. 

 

“Ya udah terserah kalian deh. Gue bantuin nganter suratnya aja ke Imron. Kayaknya emang nggak bakat nulis gue,” ambekku.

 

“Deuilah, ngambek. Nggak bukannya nggak bakat, Nif. Cuma mungkin… lo nggak bisa bikin surat cinta karena lo belum pernah jatuh cinta. Kali ini, serahkan semua ke gue sama Dee. Oke. Lo bisa jadi kurir dan mungkin penyambung lidah si Nana.” Ruru berusaha untuk mengembalikan moodku.

 

“Okelah. Tapi, harus siang ini ya. Gue mau misi ini segera terlaksana,” seruku. Ruru dan Dee menatapku malas dan mengiyakan dengan asal-asalan. “Udah, gue mau bikin pr dulu.Ru, pinjem ya. Hehehe, bentar lagi bel soalnya. Makasih!”

 

Aku langsung ngacir ke mejaku sambil membawa buku Ruru yang tergeletak di meja. Ruru menggerutu  namun tidak bisa melakukan apa-apa karena bukunya sudah terlanjur dicomot olehku.

 

“Dasar kebiasaan,” teriaknya. Bodo amat ah. Sebentar lagi bel dan aku tidak mau dihukum oleh Bu Rosi gara-gara belum mengerjakan pr.

 

###

 

Dee POV

 

"Ehm. Sorry, bener lo yang namanya Imron?"

 

Aku, Ruru dan Nana melihat dari kejauhan Nifa sedang mencoba memulai pembicaraan dengan Imron yang belum pernah dikenalnya.

 

"Iya, kamu siapa ya?" tanya Imron sambil membenarkan posisi kacamatanya.

 

"Nih, ada sesuatu buat lo. Eh, jangan salah paham dulu, bukan dari gue ya. Dari temen gue yang ini," ucap Nifa sambil menyodorkan selembar foto yang mulai kusam. Di sana jelas nampak Imron dan sosok Nana yang sudah terlebih dahulu diberi tanda lingkaran oleh Nifa.

 

Belum sempat Imron melanjutkan pembicaraan yang samasekali tak ia mengerti, Nifa langsung saja ngeloyor pergi. Aku cuma bisa tersenyum melihat muka Imron yang kebingungan sambil membolak-balik kertas foto itu. Dan matanya berhenti pada segaris kalimat yang tertulis dibalik foto. Tulisan aku dan Ruru.

 

'Hai, mungkin lo sekarang lagi bingung. Nggak usah bingung, gue Nana yang ada dalam foto itu. Foto semasa kita masih SD. Lo inget sama gue kan? Lo lihat foto itu baik-baik. Kalau lo udah inget, samperin gue di kelas XI-Bahasa. Tapi kalau lo masih lupa dan nggak inget. Lo robek aja foto itu, anggep kita nggak pernah kenal. Tapi tetep samperin gue ya, kita kenalan lagi.'

 

Mengingat isi suratnya yang sangat lugas dan cenderung maksa aku jadi ingin tertawa. Aku yakin, kalau sampai Nana tahu isi suratnya, dia pasti mencak-mencak ngamuk.

 

"Eh, si Imron senyum tuh!" seru Ruru mengagetkanku.

 

"Widiiih... Kayaknya surat kita bagus tu Ru. Respon positif dari si Imron tu Na," sahutku sambil menyenggol Nana dengan lengan kiriku. Dia hanya cengar-cengir dengan wajah bersemu merah. Ah- Lucunya orang kalau lagi jatuh cinta.

 

Keesokan harinya. Aku melihat Imron sudah berdiri di depan kelas. Dia nampak celingukan memperhatikan satu per satu wajah orang yang masuk ke kelas bahasa ini. Pasti mau nyamperin Nana. Cukup gentle untuk ukuran seorang kutu buku.

 

Aku melewatinya dengan cuek, berpura-pura tidak mengenalnya. Duduk di bangku kesayanganku, membuka novel yang baru saja aku beli kemarin dan pura-pura membacanya.Menunggu Nana datang dan menyaksikan apa yang akan terjadi. Pasti seru.

 

"Eh, tunggu-tunggu. Kamu yang namanya Nana kan?" ucap Imron tiba-tiba. Dari balik novel aku melirik Imron dan Nana yang sedang salah tingkah saling berhadapan.

 

"Eh, umm, iya hehe."

 

OMG! Muka Nana lucu banget. Sumpah, pengen ketawa ngelihatnya, coba Ruru dan Nifa udah pada dateng. Bakalan cekikikan mereka melihatnya.

 

"Sorry, kemarin aku nggak inget sama kamu, sekarang udah inget hehe. Eh, ngobrol bentar di perpus yuk."

 

Aku lihat Nana hanya bisa mengangguk kaku bak robot. Lucu.Mereka lalu berjalan beriringan menuju perpus. Tak lama setelah kepergian mereka, aku mendengar tawa yang sangat membahana. Tawa khas itu.

 

"Huahahahaha, gila muka si Nana lucu banget tadi, hahaha, lo tadi juga lihat kan Ru?"

 

"Hahaha, iya iya gue lihat tadi,"

 

"Eh, kalian lihat episode perdana tadi? Kirain gue doank yang dapet tiket VIP buat nontonnya hahaha," aku nimbrung obrolan Nifa dan Ruru yang baru memasuki kelas.

 

"Lihat donk Dee, kita ngintip dari balik pohon tadi hahaha," jawab Ruru.

 

"Hmm, let's see. Gimana nanti kelanjutannya,"

 

###

 

Nifa POV

 

Beberapa hari ini Nana sering sekali menghabiskan waktu bersama dengan Imron. Entah di perpus, kantin maupun di taman sekolah. Nggak selalu berdua sih. Kadang sama aku, kadang sama Ruru, kadang juga sama Dee. Selama mereka nggak berduaan.

 

Setelah sebulan lebih, mungkin dua bulan, Nana tiba-tiba datang sendiri. Aku yang sedang, ehem, nyalin pr-nya Dee, menatapnya heran.

 

“Lo, kenapa, Na? Biasanya bareng Imron.” Dee menatapnya penasaran. Aku segera berhenti menyalin pr.

 

“Hmm, gue mau cerita. Tapi nanti nunggu Ruru deh. Biar gue nggak cerita dua kali ya,” jawabnya pelan. Meski penasaran, aku dan Dee pun menyetujui dalam diam. Aku juga langsung ngebut nyalin pr Dee sebelum Ruru datang. Karena aku yakin aku takkan bisa nyalin pr kalau Nana sudah mulai cerita.

 

Setelah 15 menit berlalu, pr-ku sudah selesai dan Ruru sudah datang, kami pun berkumpul di meja Dee dan Nana. Bersiap untuk mendengar cerita Nana yang kuyakin akan seru. Masalahnya ini tentang Nana dan Imron. Nana dan cowok.Kapan lagi.

 

“Jadi, kemarin kan gue pulang bareng sama Imron. Dia seperti biasa sih nganterin gue ke rumah. Terus, tiba-tiba dia bilang gini,” Nana mengambil napas panjang sebelum melanjutkan, “intinya dia bilang dia nggak mau mislead gue, karena dia nggak mau pacaran. Gue sih biasa aja awalnya. Tapi terus dia bilang, karena takut memberi gue harapan palsu, dia mau jaga jarak.Makanya dia bilang hari ini nggak bisa berangkat bareng dan mungkin akan seterusnya.”

 

Aku, Dee dan Ruru pun bertatapan. Hmm, jujur saja aku bingung harus bicara apaMemang sih dari sekali lihat saja Imron tidak terlihat seperti cowok SMA kebanyakan. Dia alim, baik, nggak banyak tingkah dan pintar. Tapi untuk langkah sebesar ini…

 

“Nggak apa-apa, Na. Dia kan bilang mau jaga jarak doang ya, bukan mau putus silaturahim, Na. So, lo sebenernya masih bisa line atau whatsapp dia kan sekedar ngobrol. Atau misal diskusi pr dan tugas, karena kan dia pinter tuh,” usul Dee. Ah, Dee tokcer juga nih otaknya. Nggak salah aku sering nyalin pr-nya.Eh, itu, salah ya.

 

“Iya sih ya. Terus tambahannya… katanya bulan depan dia pergi ke Inggris, Guys. Student Exchange.” Pengumuman tambahan dari Nana membuat kami melongo seketika. Ini sih beneran kabar besar. Luar biasa. Imron ternyata penuh kejutan.

 

“Nah lho. Kok dadakan?” tanya Ruru. Wajahnya yang biasanya datar sekarang kaget.

 

“Sebenernya nggak dadakan sih. Ternyata dia udah dapet pengumumannya dari empat bulan lalu. Sebelum gue sama dia deket itu. Gue juga baru inget. Padahal waktu itu gue lihat pengumumannya.” Nana tertunduk lesu.

 

Aku menatapnya bingung. Mau bilang apa ya? Aku memang tidak pandai menghibur orang. Lalu, tiba-tiba saja sebuah ide muncul di kepalaku.

 

“Kenapa nggak lo nulis surat aja ke dia nanti? At least, lo nggak hilang kontak, bisa saling kabar-kabari, terus juga melestarikan budaya surat-menyurat. Pinter nggak gue?” Aku tersenyum jumawa yang berhadiah tabokan di lengan dari mereka. “Kok lo pada beringas sih?”

 

“Abis, lo jumawa banget sih. Tapi, ide lo bagus. Yaa, dimaafkan.” Dee mengangguk-angguk. Ruru ikut mengangguk dan Nana sepertinya mulai mempertimbangkan ide dariku.

 

“Ide lo bagus sih. Kalo surat terlalu lama, lo bisa kirim-kirim email. Tumben emang si Nifa tokcer begini,” timpal Ruru. Huu, susah banget muji kalau nggak pakai menghina.

 

Akhirnya Nana tenang dan mulai sibuk dengan handphone-nya yang kuyakin pasti sedang chatting sama Imron. Yah, ternyata efek surat itu kece juga. Maksudnya, pertama bisa mendekatkan kembali Nana dan Imron. Terus sekarang bisa menenangkan Nana dan bisa jadi jalan alternatif komunikasi mereka. Siapa bilang jarak itu menjauhkan? Kalau dengan nulis bisa jadi dekat, bukannya semua masalahnya selesai? Semoga Nana senang.Masalahnya kelar dan dia jadi bisa kayak zaman dulu. Surat-suratan. Dan tanpa sadar, aku cengar-cengir sendiri. Good luck, Nana. 

 

#TantanganDuetRuNa

091015 Dee dan Nifa